FILSUF
– FILSUF ISLAM
1. Al - Kindi
A.
Sejarah Hidup dan Pendidikan
Al-Kindi, nama lengkapnya Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq
bin Ash-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais
al-Kindi. Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari
keluarga kaya dan terhormat. Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah
terpandang di kalangan masyarakat Arab dan bermukim di daerah Yaman dan
Hijaz.
Setelah dewasa al-Kindi pergi ke Baghdad dan mendapat
perlindungan dari khalifah al- Ma’mun (813-833 H) dan khalifah al-Mu’tasim
(833-842 H). Al-Kindi menganut paham Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat.
Selain belajar filsafat ia juga menekuni dan ahli
dalam bidang ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam astrologi, ilmu pasti, ilmu
seni musik, meteorologi, optika, kedokteran, politik dan matematika. Penguasaanya
terhadap filasafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang
Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof
terkemuka. Karena itu pula dinilai pantas dalam menyadang gelar Failasuf al-‘Arab (filosof berkebangsaan
Arab).
B.
Pokok-pokok
Pemikiran Filsafat al-Kindi
Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat
dalam berbagai aspek antara lain:
1) Pemaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan
mengupayakan pemaduan antara
filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya
tidak bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran.
Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan,
keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan
memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat.
Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan
keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada
tiga alasan berikut: ilmu agama merupakan bagian dari filsafat; wahyu yang
diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian; menuntut
ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.
2) Falsafat Ketuhanan
Tuhan
dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah.
Tidak aniah karena tidak termasuk yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah
Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak
mahiah karena Tuhan tidak merupakan genus dan spesies. Tuhan adalah Yang Benar
Pertama (Al-Haqqul Awwal) dan Yang Benar Tunggal (Al-Haqqul Wahid).
Sesuai
dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan
bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan
kekal di zaman lampau tetapi punya permulaan. Karena itulah ia lebih dekat
dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu
adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah
emanasi dari Yang Maha Satu.
3) Falasafat Jiwa
Al-Quran
dan Hadits Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan tegas tentang roh dan jiwa.
Bahkan Al-Quran sebagai pokok sumber ajaran Islam menginformasikan bahwa
manusia tidak akan mengetahui hakikat ruh karena itu urusan Allah bukan
Manusia. Dengan adanya hal tersebut, kaum filosof Muslim membahas jiwa
berdasarkan pada falsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani,
kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Al-Kindi
juga mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam
dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting , sempurna, dan mulia. Subtansinya
berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya
dengan cahaya dan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan
berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan illahi sementara
badan mempunyai hawa nafsu dan marah. Dan perbedaannya jiwa menentang keinginan
hawa nafsu.
Pada
jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (yang terdapat di perut), daya
marah (terdapat di dada), dan daya pikir (berputar pada kepala).
4)
Akal
Dalam
jiwa manusia terdapat tiga daya yang telah disebutkan diatas salah satunya
ialah daya berpikir. Daya berpikir itu adalah akal. Menurut al-Kindi akal
dibagi menjadi tiga macam: akal yang bersifat potensil; akal yang keluar dari
sifat potensil dan aktuil; dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari
aktualitas.
Akal
yang bersifat potensil tidak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada
kekuatan yang menggerakannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada
satu lagi macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama akal
yang selamanya dalam aktualitas. Akal tersebut membuat akal yang bersifat
potensil dalam roh manusia menjadi aktuil. Sifat-sifat akal ini yaitu Merupakan
akal pertama, Selamanya dalam aktualitas, Merupakan spesies dan genus, Membuat
akal potensil menjadi aktuil berpikir, Tidak sama dengan akal potensil tetapi
lain dari padanya.
Ahmad Fuad
Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdausi, 1995).
H.
Sirajuddin Zarmi, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004).
Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: NV. Bulan Bintang,
1978)
2. AL – FARABI
A.
Biografi dan Pendidikannya.
Al-Farabi,
nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Muhammad Ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Ia
lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana).
Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia
dan ibunya berkebangsaan Turki. Ia dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan
sebutan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari
nama kota Farab, tempat ia dilahirkan. Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya
sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari negara
Turki.
Sejak
kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam mempelajari
bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa. Penguasaan
terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami. Malah
sebaliknya, bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada
waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Farabi
dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan
aktif hanya empat bahasa; Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.
Al-Farabi
dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan dunia di kala itu. Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya
untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat.
B.
Pemikirannya
1)
Filsafat Emanasi
Salah
satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari teori
Plotinus. Apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka
zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang
Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari,
sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi
dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama
seperti form (surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.
2)
Filsafat Metafisika
Mengenai
pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti para filosof lainnya, yakni membahas
tentang masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi 3 (tiga)
yaitu: pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai
wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat
(paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang
Wujud tertentu. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda
ataupun berada dalam benda-benda itu.
Al-Farabi
ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles dan
Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai sebab pertama
bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan
dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya
memiliki dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud
adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan
wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud yang sempurna selamanya dan
tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak ada, akan timbul
kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang
disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi Wujud
Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan
dirinya, tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan
tasalsul (processus in infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan
berakhir pada Wajib al-Wujud.
3)
Filsafat ke-Nabian
Filsafat
ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang
dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia
seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan
kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam
agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan.
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu
Ilahi.
Salah
satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai
jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk
berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini
disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis
oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat
karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW.
4)
Filsafat Politik
Dalam
persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada
filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk
bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun
tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan
memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi
juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.
Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di
masyarakat.
Menurut
al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak
sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah
warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki
bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan
Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara,
membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian
di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab
untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.
Al-Farbi
juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah Nabi/Rasul
atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan
pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada
sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada
seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki
Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada
seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus
diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin
masyarakat.
Mustofa,
A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution,
Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang,
1973
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-al-farabi-dan
pemikiran.html#ixzz2tfbfRwzr
3. Ibnu Rusyd
A.
Biografi dan Pendidikannya
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu
Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir
pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang
barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil
dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat,
bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan
ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat
pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa
dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah
Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova
Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga
yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu
Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya
bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari
matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengobatan.
Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan
Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville terkenal karena
aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi
Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam
Timur.
Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di
kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul
peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada
kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd
disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran
filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap
dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh
sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum
ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan
meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.
B.
Pemikirannya
1)
Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn
Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar
argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas
orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana
pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan
seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah
ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak
ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya
nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda
2)
Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd
berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat
posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”.
Wujud Allah ; Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Hanafi,
Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/05/pemikiran-filsafat-islam-ibnu-rusyd.html#ixzz2tfbID6ec
4. IBNU SINA
A.
Biografi dan Pendidikannya
Ibnu Sina , nama asli beliau adalah Abu
Ali Hosain ibnu bdullah ibnu Sina. Di Eropa (dunia Barat) ia lebih dikenal
dengan sebutan Avicenna. Ia lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah dekat
Bukhara pada tahun 340 H. Bertepatan dengan tahun 980 M.
Dalam pendidikannya, Ibnu Sina sangat haus
dengan pendidikan, hidupnya selalu diwarnai dengan belajar, diantara guru yang
mendidiknya ialah ’Abu Abdallah Al-Natali dan Isma’il sang Zahid. Karena
kecerdasan otaknya yang luar biasa ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan
kepadanya dengan sempurna dari sang guru, bahkan melebihi pengetahuan sang
guru.
B.
Pemikirannya
1)
Filsafat Wujud
Mengenai
Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu
Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai
pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat
dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa
Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan Possible in essence).
Dengan
demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib
wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan,
timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul
jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul
langit-langit.
Menurut
Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara
mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena
ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua
unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal.
Tentang apakah Tuhan itu dan hakikat Tuhan adalah identik dengan
eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena
tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan
kata lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia
tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa
gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedangkan
adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan
dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian
yang lain pun juga tidak akan ada.
2)
Filsafat Jiwa
Menurut
pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali
ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun
jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak
berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir,
yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
Menurut
Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang
subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi
sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang
terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.
3)
ilsafat Tentang Ke-Nabian
Mengenai
pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia
yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual
yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal
materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Salah
satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri
sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul
daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri
dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang
kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang
tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua
…selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara
langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal
aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi),
maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni
para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam
lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin
segenap manusia yang diunggulinya.
Menurut
Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang
identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang
telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan
demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu
sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya.
Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara
esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).
A. Mustofa,
Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-pemikiran.html#ixzz2tfUKeKMI
5.
Al Ghazali
A. Biografi
dan Pendidikannya
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali
Pada
masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad
bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali),
kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah
mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan
belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda
ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan
pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab
Syafi’i.
Semuanya
mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk
akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar
(profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad.
Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat)
tahun.
B. Pemikiran
Filsafat Al-Ghazali
1) Metafisika
Untuk pertama kalinya
Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu
Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan
bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
2) Iradat
Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Al-Ghazali berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Al-Ghazali berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
3) Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-al-ghazali-dan-pemikiran.html#ixzz2tfYtij9D
FILSUF
– FILSUF BARAT
Thales adalah seorang filsuf
yang mengawali sejarah filsafat Barat pada abad ke-6 SM. Sebelum Thales,
pemikiran Yunan dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala
sesuatu. Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena
mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada
mitos melainkan pada rasio manusia. Ia juga dikenal sebagai salah seorang dari
Tujuh Orang Bijaksana (dalam bahasa Yunani hoi hepta sophoi), yang oleh
Aristoteles diberi gelar ‘filsuf yang pertama’. Selain sebagai filsuf, Thales
juga dikenal sebagai ahli geometri, astronomi, dan politik. Bersama dengan Anaximandros
dan Anaximenes, Thales digolongkan ke dalam Mazhab Miletos.
Thales tidak
meninggalkan bukti-bukti tertulis mengenai pemikiran filsafatnya. Pemikiran
Thales terutama didapatkan melalui tulisan Aristoteles tentang dirinya. Aristoteles
mengatakan bahwa Thales adalah orang yang pertama kali memikirkan tentang asal
mula terjadinya alam semesta. Karena itulah, Thales juga dianggap sebagai
perintis filsafat alam (natural philosophy).
Thales
(624-546 SM) lahir di kota Miletos yang merupakan tanah perantauan orang-orang
Yunani di Asia Kecil. Situasi Miletos yang makmur memungkinkan orang-orang di
sana untuk mengisi waktu dengan berdiskusi dan berpikir tentang segala sesuatu.
Hal itu merupakan awal dari kegiatan berfilsafat sehingga tidak mengherankan bahwa
para filsuf Yunani pertama lahir di tempat ini.
A. Pemikiran
a) Air sebagai Prinsip Dasar Segala Sesuatu
Thales menyatakan bahwa air adalah
prinsip dasar (dalam bahasa Yunani arche) segala sesuatu. Air menjadi
pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. Berkat
kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya,
air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbinasakan.
Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan
semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga
memerlukan air untuk hidup. Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah
bentuk (padat, cair, dan gas) tanpa menjadi berkurang.
Selain itu, ia juga mengemukakan
pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang
satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya.
b) Pandangan tentang Jiwa
Thales berpendapat bahwa segala
sesuatu di jagat raya memiliki jiwa. Jiwa tidak hanya terdapat di dalam benda
hidup tetapi juga benda mati.Teori tentang materi yang berjiwa ini disebut hylezoisme.
Argumentasi Thales didasarkan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa karena
mampu menggerakkan besi.
c) Teorema Thales
Di dalam geometri, Thales dikenal karena
menyumbangkan apa yang disebut teorema Thales, kendati belum tentu seluruhnya
merupakan buah pikiran aslinya. Teorema Thales berisi sebagai
berikut:
Jika AC adalah sebuah diameter, maka sudut B adalah selalu
sudut siku-siku
Teorema Thales :
- 1. Sebuah lingkaran terbagi dua sama besar oleh diameternya.
- 2. Sudut bagian dasar dari sebuah segitiga samakaki adalah sama besar.
- 3. Jika ada dua garis lurus bersilangan, maka besar kedua sudut yang saling berlawanan akan sama.
- 4. Sudut yang terdapat di dalam setengah lingkaran adalah sudut siku-siku.
- 5. Sebuah segitiga terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudut yang bersinggungan dengan bagian dasar tersebut telah ditentukan.
d) Pandangan Politik
Berdasarkan
catatan Herodotus, Thales pernah memberikan nasihat kepada orang-orang Ionia
yang sedang terancam oleh serangan dari Kerajaan Persia pada pertengahan abad
ke-6 SM. Thales menyarankan orang-orang Ionia untuk membentuk pusat
pemerintahan dan administrasi bersama di kota Teos yang memiliki posisi sentral
di seluruh Ionia. Di dalam sistem tersebut, kota-kota lain di Ionia
dapat dianggap seperti distrik dari keseluruhan sistem pemerintahan Ionia.
Dengan demikian, Ionia telah menjadi sebuah polis yang bersatu dan
tersentralisasi.
2.
Anaximandros
Anaximandros
adalah murid Thales. Masa hidupnya disebut orang dari Tahun 610 – 547 sebelum
Masehi. Ia lima belas tahun lebih muda dari Thales, tetapi meninggal dua tahun
lebih dahulu. Sebagai seorang filosof ia lebih besar daripada gurunya. Ia juga
ahli astronomi dan ahli ilmu bumi. Ia konon adalah orang pertama yang membuat
peta.
A. PEMIKIRANNYA
a) BIDANG
ASTRONOMI
Menurutnya,
dunia kita terletak di tengah- tengah alam semesta ini: berbentuk seperti
silinder, di sekitarnya ada lingkaran- lingkarang cincin (berwujud seperti
selang) yang penuh berisi api, dan selang- selang itu berlobang-lobang. Lewat
lobang inilah kita bisa melihat api di dalam cincin-cincin tersebut. Itu
makanya, bintang-bintang, bulan, matahari adalah “lobang lewat mana” kita bisa
mengetahui adanya cincin-cincin di langit itu. Yang terpenting dari sistem yang
diajukan Anaximandros ini adalah simetri yang ia ajukan: meskipun fenomen di
langit tampak tak beraturan, ia menemukan adanya keteraturan. Dan lebih dari
itu, simetri itu mengijinkan dirinya menyatakan bahwa dunia kita “tidak
bergerak”.
Anaximandros berpendapat bahwa
bumi kita tepat berada di tengah-tengah sehingga tidak ada satu alasanpun untuk
menjelaskan mengapa ia bergerak ke satu titik daripada titik lainnya. Sama
seperti seekor keledai yang berada di antara 2 gundukan jerami di arah
berlawanan dengan jarak yang sama, ia akan berhenti, dan mati kelaparan karena
tidak pernah memilih arah mana yang mau diambil.
Kematian keledai dan immobilitas
bumi kita diterangkan dengan sebuah prinsip yang sekarang kita kenal sebagai
prinsip kecukupan rasio (principe of sufficient
reason) :
- Jika tidak ada alasan bahwa X
muncul (terjadi) daripada Y (jika tidak ada alasan aku mengambil jalan lurus
atau mengambil putaran di depan)
- Jika tidak mungkin bahwa X dan
Y muncul (terjadi) bersama-sama (jika tidak mungkin untuk berjalan lurus dan
berbelok sekaligus)
- Maka kesimpulannya: baik X
maupun Y tidak ada (maka aku tdk jalan lurus dan tidak berbelok, aku diam!)
Prinsip abstrak ini yang
kemudian diterapkan Anaximandros kepada astronomi untuk mengatakan bahwa bumi
kita diam.
b) ASAL
MULA MANUSIA
Anaximandros
mengatakan bahwa tidak mungkin manusia pertama timbul dari air dalam rupa anak
bayi. Orang sering mengatakan bahwa Anaximandros menjadi pendahulu teori
evolusi spesies-spesies . Berhadapan dengan ragam kehidupan di dunia, ia
mencoba mencari dari mana asal-usul semuanya, dan terutama dari mana
manusia muncul. Barangkali, karena pengaruh gurunya, Thales, yang
mengusulkan physis air sebagai dasar kehidupan, ia lalu mengusulkan bahwa
asal-usul mereka adalah daerah lembab . Lalu bagaimana bisa muncul
kuda, kambing, yang semuanya tidak terlalu dekat hidupnya dengan hal-hal
lembab ? Maka dibuatlah spekulasi bahwa dulu-dulunya semua berasal dari
ikan atau semacam ikan yang dilindungi oleh cangkang. Tentang manusia ?
Manusia adalah satu-satunya binatang yang menyusui dalam periode lama untuk
akhirnya bisa makan sendiri. Jika demikian, maka manusia pertama pasti tidak
demikian, karena jika begitu ia akan cepat mati. Maka diusulkan bahwa manusia
pertama dikandung cukup lama dalam binantang semacam ikan, sampai kemudian
keluar darinya. Dan baru setelah itu ia bisa berkembang biak sendiri.[8
c) PHYSIS
ITU BERNAMA APEIRON
Seperti juga gurunya,
Anaximandros mencari asal dari segalanya. Ia tidak menerima begitu saja apa
yang diajarkan gurunya. Yang dapat diterima akalnya ialah bahwa yang asal itu
satu, tidak banyak. Tetapi yang satu itu bukan air. Menurut pendapatnya, barang
asal itu tidak berhingga dan tidak berkeputusan. Ia bekerja selalu dengan tiada
henti- hentinya, sedangkan yang dijadikannya tidak berhingga banyaknya. Jika
benar kejadian itu tidak berhingga, seperti yang lahir kelihatan, maka yang “asal”
itu mestilah tidak berkeputusan.
Yang asal itu, yang menjadi
dasar alam dinamai oleh anaximandros “Apeiron”. Apeiron itu tidak dapat
dirupakan, tak ada persamaannya dengan salah satu barang yang kelihatan di
dunia ini. Segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan dengan panca indera
kita, adalah barang yang mempunyai akhir, yang berhingga. Segala yang tampak
dan terasa dibatasi oleh lawannya. Yang panas dibatasi oleh yang dingin. Di
mana yang bermula dingin, di sana berakhir yang panas. Yang cair dibatasi oleh
yang beku, yang terang oleh yang gelap. Dan bagaimana yang berbatas itu akan
dapat memberikan sifat kepada yang tidak berkepunyaan?
Simplicius mengatakan bahwa
Anaximandros berbicara tentang proses menjadi dan hilangnya alam semesta.
Menurutnya, semua terjadi menurut tatatan waktunya : artinya,
secara teratur, segala hal yang muncul pada waktunya akan dibalas/ditebus.
Tanaman tumbuh dan berkembang dari tanah dengan mengambil unsur-unsur dari
dalam tanah. Pada waktunya, tanaman akan mati, membusuk dan materinya
dikembalikan lagi menjadi tanah. Saat tanaman tumbuh, ia melakukan
ketidakadilan kepada tanah karena ia menyerap unsur-unsurnya untuk
kehidupannya. Tanaman mencuri apa-apa yang diperlukannya dari
tanah. Namun, sekali tanaman itu mati dan membusuk, ia menebus (membalas)
ketidakadilan yang ia lakukan dengan menjadi unsur-unsur bagi tanah. Hujan
jatuh dari udara, lalu air hujan akan diuapkan oleh panas matahari, dan ia akan
kembali menjadi udara lagi. Hujan (air) mengambil substansi airnya dari udara,
ia mencurinya dari udara. Setelah jatuh, ia akan diuapkan
untuk menebus kembali udara. Semua kemunculan dan hilangnya
segala sesuatu terjadi menurut aturan yang sudah ditatankan dalam waktu.
Simplicius juga berbicara
tentang sebuah physis bernama ketakterbatasan (apeiron) sebagai asal dan
akhir segala sesuatu. Sama seperti Thales gurunya, Anaximandros juga menemukan
satu prinsip : ketakterbatasan. Apeiron ini tidak sama dengan salah
satu dari berbagai unsur yang menyusun dunia kita yang kelihatan ini. Alasannya
sederhana : karena semua materi yang kita kenal derajatnya sejajar (air
menjadi udara, udara menjadi air ; kayu menjadi tanah, tanah menjadi
kayu). Tak satu pun unsur dasariah dunia inderawi ini memiliki primasi
dibandingkan unsur lain sehingga tidak bisa dikatakan menjadi prinsip.
Prinsip itulah yang memunculkan
alam semesta ini berkat sebuah gerak abadi (mengapa harus
abadi gerakan ini ? ya karena gerakan inilah yang memunculkan alam
semesta, kalau gerakan ini digerakkan oleh sesuatu , artinya kita harus
mencari sesuatu yang menggerakkan itu, dan seterusnya tanpa
henti. Awal segala sesuatu akhirnya sulit diterangkan. Itu makanya,
dipostulatkan – dinyatakan – bahwa gerak ini abadi ).
Gerakan inilah yang memunculkan
semua langi-langit dan dunia-dunia yang ada di dalamnya”, dan ia tidak
pernah berhenti. Gerakan ini terus menerus memunculkan sesuatu . Dan
untuk bisa memunculkan itu, gerakan ini butuh sebuah materi . Karena
“materi” yang dibutuhkan akan digerakkan terus untuk senantiasa memunculkan
sesuatu, maka “materi” itu haruslah sesuatu yang “tak bisa habis, tak
terbatas”.
- Dari “materi dasar” (prinsip)
ini lalu muncul: langit-langit dan semua “elemen” yang ada di dunia. Dari situ
baru muncullah apa-apa yang kita kenali di dunia ini. Dan semua itu masih
dikendalikan oleh gerak abadi tersebut sehingga muncullah sebah
SIKLUS teratur kejadian-kejadian yang semuanya taat pada tatanan waktu.
- Ini semua adalah tafsir
yang belum tentu benar (mengingat sekalilagi minimnya teks, dan sumber yang
kita gunakan adalah sumber-sumber yang jauh setelah kehidupan
Anaximandros sendiri).
Anaximenes adalah
seorang filsuf yang berasal dari kota Miletos, sama seperti Thales dan
Anaximandros. Anaximenes hidup sezaman dengan kedua filsuf tersebut,
kendati ia lebih muda dari Anaximandros. Ia disebut di dalam tradisi filsafat
Barat, bersama dengan Thales dan Anaximandros, sebagai anggota Mazhab Miletos.
Anaximenes adalah teman, murid, dan pengganti dari Anaximandros.
Sebagaimana kedua filsuf Miletos yang lain, ia berbicara tentang filsafat alam,
yakni apa yang menjadi prinsip dasar (arche) segala sesuatu.
Tentang riwayat hidupnya, tidak
banyak yang diketahui. Anaximenes mulai terkenal sekitar tahun 545
SM, sedangkan tahun kematiannya diperkirakan sekitar tahun 528/526 SM. Ia
diketahui lebih muda dari Anaximandros. Ia menulis satu buku, dan dari buku
tersebut hanya satu fragmen yang masih tersimpan hingga kini.
A. PEMIKIRANNYA
a) Udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu
|
Salah satu kesulitan untuk menerima
filsafat Anaximandros tentang to apeiron yang metafisik adalah bagaimana
menjelaskan hubungan saling mempengaruhi antara yang metafisik dengan yang
fisik. Karena itulah, Anaximenes tidak lagi melihat sesuatu yang
metafisik sebagai prinsip dasar segala sesuatu, melainkan kembali pada zat yang
bersifat fisik yakni udara.
Tidak seperti air yang tidak
terdapat di api (pemikiran Thales), udara merupakan zat yang terdapat di dalam
semua hal, baik air, api, manusia, maupun segala sesuatu. Karena
itu, Anaximenes berpendapat bahwa udara adalah prinsip dasar segala sesuatu.
Udara adalah zat yang menyebabkan seluruh benda muncul, telah muncul, atau akan
muncul sebagai bentuk lain. Perubahan-perubahan tersebut berproses dengan prinsip
“pemadatan dan pengenceran” (condensation and rarefaction. Bila
udara bertambah kepadatannya maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah,
dan kemudian batu. Sebaliknya, bila udara mengalami pengenceran, maka yang
timbul adalah api. Proses pemadatan dan pengenceran tersebut meliputi seluruh
kejadian alam, sebagaimana air dapat berubah menjadi es dan uap, dan bagaimana
seluruh substansi lain dibentuk dari kombinasi perubahan udara.
b) Tentang Alam Semesta
Pembentukan alam semesta menurut
Anaximenes adalah dari proses pemadatan dan pengenceran udara yang membentuk
air, tanah, batu, dan sebagainya. Bumi, menurut Anaximenes, berbentuk datar,
luas, dan tipis, hampir seperti sebuah meja. Bumi dikatakan melayang di udara
sebagaimana daun melayang di udara. Benda-benda langit seperti bulan, bintang,
dan matahari juga melayang di udara dan mengelilingi bumi. Benda-benda langit
tersebut merupakan api yang berada di langit, yang muncul karena pernapasan
basah dari bumi. Bintang-bintang tidak memproduksi panas karena jaraknya yang
jauh dari bumi. Ketika bintang, bulan, dan matahari tidak terlihat pada waktu
malam, itu disebabkan mereka tersembunyi di belakang bagian-bagian tinggi dari
bumi ketika mereka mengitari bumi. Kemudian awan-awan, hujan, salju, dan
fenomena alam lainnya terjadi karena pemadatan udara.
c) Tentang Jiwa
Jiwa manusia dipandang sebagai
kumpulan udara saja. Buktinya, manusia perlu bernafas untuk mempertahankan
hidupnya. Jiwa adalah yang mengontrol tubuh dan menjaga segala sesuatu pada
tubuh manusia bergerak sesuai dengan yang seharusnya. Karena itu, untuk menjaga
kelangsungan jiwa dan tubuh. Di sini, Anaximenes mengemukakan persamaan antara
tubuh manusiawi dengan jagat raya berdasarkan kesatuan prinsip dasar yang sama,
yakni udara. Tema tubuh sebagai mikrokosmos (jagat raya kecil) yang
mencerminkan jagat raya sebagai makrokosmos adalah tema yang akan sering
dibicarakan di dalam Filsafat Yunani. Akan tetapi, Anaximenes belum menggunakan
istilah-istilah tersebut di dalam pemikiran filsafatnya
4.
Nicolaus
Copernicus
Nicolaus Copernicus (1473-1543)
(nama Polandianya: Mikolaj Kopernik), dilahirkan tahun 1473 di kota Torun di
tepi sungai Vistula, Polandia. Dia berasal dari keluarga berada. Sebagai anak
muda belia, Copernicus belajar di Universitas Cracow, selaku murid yang menaruh
minat besar terhadap ihwal ilmu perbintangan. Pada usia dua puluhan dia pergi
melawat ke Italia, belajar kedokteran dan hukum di Universitas Bologna dan
Padua yang kemudian dapat gelar Doktor dalam hukum gerejani dari Universitas
Ferrara.
Copernicus menghabiskan sebagian
besar waktunya tatkala dewasa selaku staf pegawai Katedral di Frauenburg
(istilah Polandia: Frombork), selaku ahli hukum gerejani yang sesungguhnya
Copernicus tak pernah jadi astronom profesional, kerja besarnya yang membikin
namanya melangit hanyalah berkat kerja sambilan.
Selama berada di Italia, Copernicus
sudah berkenalan dengan ide-ide filosof Yunani Aristarchus dari Samos (abad
ke-13 SM). Filosof ini berpendapat bahwa bumi dan planit-planit lain berputar
mengitari matahari. Copernicus jadi yakin atas kebenaran hipotesa
"heliocentris" ini, dan tatkala dia menginjak usia empat puluh tahun
dia mulai mengedarkan buah tulisannya diantara teman-temannya dalam bentuk
tulisan-tulisan ringkas, mengedepankan cikal bakal gagasannya sendiri tentang
masalah itu.
Copernicus memerlukan waktu
bertahun-tahun melakukan pengamatan, perhitungan cermat yang diperlukan untuk
penyusunan buku besarnya De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi
Bulatan Benda-benda Langit), yang melukiskan teorinya secara terperinci dan
mengedepankan pembuktian-pembuktiannya.
Di tahun 1533, tatkala usianya
menginjak enam puluh tahun, Copernicus mengirim berkas catatan-catatan
ceramahnya ke Roma. Di situ dia mengemukakan prinsip-prinsip pokok teorinya
tanpa mengakibatkan ketidaksetujuan Paus. Baru tatkala umurnya sudah mendekati
tujuh puluhan, Copernicus memutuskan penerbitan bukunya, dan baru tepat pada
saat meninggalnya dia dikirimi buku cetakan pertamanya dari si penerbit. Ini
tanggal 24 Mei 1543.
Dalam buku itu Copernicus dengan
tepat mengatakan bahwa bumi berputar pada porosnya, bahwa bulan berputar
mengelilingi matahari dan bumi, serta planet-planet lain semuanya berputar
mengelilingi matahari. Tapi, seperti halnya para pendahulunya, dia membuat
perhitungan yang serampangan mengenai skala peredaran planet mengelilingi
matahari.
5.
Galileo Galilei
A.
Sejarah Hidup dan Pendidikan
Galileo Galilei (lahir di Pisa, Toscana, 15 Februari
1564 – meninggal di Arcetri, Toscana, 8 Januari 1642 pada umur 77 tahun) adalah
seorang astronom, filsuf, dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam
revolusi ilmiah.
Sumbangannya dalam keilmuan antara lain adalah
penyempurnaan teleskop, berbagai observasi astronomi, dan hukum gerak pertama
dan kedua (dinamika).
a. Masa
Kecil
Galileo
Galilei dilahirkan di Pisa, Tuscany pada tanggal 15 Februari 1564 sebagai anak
pertama dari tujuh bersauda. Orang tuanya Vincenzo Galilei, seorang
matematikawan dan musisi asal Florence, dan Giulia Ammannati. Ayahnya amat
sayang pada dia, dan sedari kecil sudah membawa Galileo mengembarai sastra,
bahasa Yunani, musik klasik dan sulap Phytagoras.
b. Masa
Universitas
Setamat
sekolah biara Camaldolese, dia memasuki Fakultas Kedokteran Universitas Pisa.
Sejak semester awal, pemuda berjanggut ini amat doyan berdebat. Julukan
wrangler pun mampir padanya karena keras kepala, dan acap mendebat para profesor.
Dia bahkan ogah memakai jubah akademi, dan memilih membayar denda.
Tak betah di
Fakultas kedokteran, dia keluar dan menjadi dosen matematika di universitas
yang sama. Tapi, tawaran gaji lebih besar, membawanya menjadi dosen di
Universitas Padua.
Galileo
adalah orang yang tak pandai bergaul. Hidupnya habis di antara tumpukan buku.
Dia tak pernah pacaran, apalagi menikah. Tapi dari pengurus rumahnya, Marina
Andrea Gamba dia punya tiga anak tanpa nama baptis, Virginia, Livia, dan
Vincenzio.
B.
Eksperimen
Galileo Galilei
a)
Bidang Mekanika (hukum benda jatuh)
Sumbangan
penting pertamanya di bidang mekanika. Aristoteles mengajarkan, benda yang
lebih berat jatuh lebih cepat ketimbang benda yang lebih enteng, dan
bergenerasi-generasi kaum cerdik pandai menelan pendapat filosof Yunani yang
besar pengaruh ini. Tetapi, Galileo memutuskan mencoba dulu benar-tidaknya, dan
lewat serentetan eksperimen dia berkesimpulan bahwa Aristoteles keliru. Yang
benar adalah, baik benda berat maupun enteng jatuh pada kecepatan yang sama
kecuali sampai batas mereka berkurang kecepatannya akibat pergeseran udara.
(Kebetulan, kebiasaan Galileo melakukan percobaan melempar benda dari menara
Pisa tampaknya tanpa sadar).
Mengetahui
hal ini, Galileo mengambil langkah-langkah lebih lanjut. Dengan hati-hati dia
mengukur jarak jatuhnya benda pada saat yang ditentukan dan mendapat bukti
bahwa jarak yang dilalui oleh benda yang jatuh adalah berbanding seimbang
dengan jumlah detik kwadrat jatuhnya benda. Penemuan ini (yang berarti penyeragaman
percepatan) memiliki arti penting tersendiri. Bahkan lebih penting lagi Galileo
berkemampuan menghimpun hasil penemuannya dengan formula matematik. Penggunaan
yang luas formula matematik dan metode matematik merupakan sifat penting dari
ilmu pengetahuan modern.
b)
Hukum Bandul
Pada suatu
hari ia masuk ke Katedral kota itu. Disitu ia melihat lampu gantung yang sedang
dinyalakan oleh koster (pelayan gereja). Lampu-lampu itu berayun-ayun karena
disentuh koster. Lebar ayunanya bermacam-macam. Galieo menghitung lamanya
ayunan dengan denyut nadinya karena waktu itu belum ada alrloji atau alat ukur
lainnya. Setiba dirumah ia mengulangi peristiwa itu dengan bola dari berbagai
ukuran dan berat. Akhirnya ia menemukan hukum ini: Waktu ayun tidak tergantung
pada lebar ayun dan berat bandul, asal lebar ayun tidak terlalu besar. Waktu
ayun berbanding lurus dengan panjang bandul dan berbanding terbalik dengan akar
percepatan yang disebabkan gaya gravitasi.
c)
Hukum Kelembaman
Sumbangan
besar Galileo lainnya ialah penemuannya mengenai hukum kelembaman. Sebelumnya,
orang percaya bahwa benda bergerak dengan sendirinya cenderung menjadi makin
pelan dan sepenuhnya berhenti kalau saja tidak ada tenaga yang menambah
kekuatan agar terus bergerak. Tetapi percobaan-percobaan Galileo membuktikan
bahwa anggapan itu keliru. Bilamana kekuatan melambat seperti misalnya
pergeseran, dapat dihilangkan, benda bergerak cenderung tetap bergerak tanpa
batas. Ini merupakan prinsip penting yang telah berulang kali ditegaskan oleh
Newton dan digabungkan dengan sistemnya sendiri sebagai hukum gerak pertama
salah satu prinsip vital dalam ilmu pengetahuan.
d)
Bidang Astronomi
Penemuan
Galileo yang paling masyhur adalah di bidang astronomi. Teori perbintangan di
awal tahun 1600-an berada dalam situasi yang tak menentu. Terjadi selisih
pendapat antara penganut teori Copernicus yang matahari-sentris dan penganut
teori yang lebih lama, yang bumi-sentris. Sekitar tahun 1609 Galileo menyatakan
kepercayaannya bahwa Copernicus berada di pihak yang benar, tetapi waktu itu
dia tidak tahu cara membuktikannya. Sebenarnya orang pertama di dunia yang
menemukan teleskop atau teropong adalah Hans Lippershey, ahli optika Belanda,
pada tahun 1608. Tapi Lippershey tidak mau menerima patennya. Meskipun Galileo
hanya mendengar samar-samar saja mengenai peralatan itu, tetapi berkat
kegeniusannya dia mampu menciptakan sendiri teleskop.
Tidak
seperti yang dipercaya sebagian orang, Galileo tidak menciptakan teleskop tapi
ia telah menyempurnakan alat tersebut. Ia menjadi orang pertama yang memakainya
untuk mengamati langit, dan untuk beberapa waktu, ia adalah satu dari sedikit
orang yang bisa membuat teleskop sebagus itu. Awalnya, ia membuat teleskop
hanya berdasarkan deskripsi tentang alat yang dibuat di Belanda pada 1608. Ia membuat
sebuah teleskop dengan perbesaran 3x dan kemudian membuat model-model baru yang
bisa mencapai 32x. Pada 25 Agustus 1609, ia mendemonstrasikan teleskop pada
pembuat hukum dari Venesia. Selain itu, hasil kerjanya juga membuahkan hasil
lain karena ada pedagang-pedagang yang memanfaatkan teleskopnya untuk keperluan
pelayaran. Pengamatan astronominya pertama kali diterbitkan di bulan Maret
1610, berjudul Sidereus Nuncius.
Galileo
menemukan tiga satelit alami Jupiter -Io, Europa, dan Callisto- pada 7 Januari
1610. Empat malam kemudian, ia menemukan Ganymede. Ia juga menemukan bahwa
bulan-bulan tersebut muncul dan menghilang, gejala yang ia perkirakan berasal
dari pergerakan benda-benda tersebut terhadap Jupiter, sehingga ia menyimpulkan
bahwa keempat benda tersebut mengorbit planet.
Galileo
adalah salah satu orang Eropa pertama yang mengamati bintik matahari,
diperkirakan Astronomi astronom Tionghoa sudah mengamatinya sejak lama. Selain
itu, Galileo juga adalah orang pertama yang melaporkan adanya gunung dan lembah
di bulan, kesimpulan yang diambil melihat dari pola bayangan yang ada di
permukaan. Ia kemudian memberi kesimpulan bahwa bulan itu "kasar dan tidak
rata, seperti permukaan bumi sendiri", tidak seperti anggapan Aristoteles
yang menyatakan bulan adalah bola sempurna.
Galileo juga
mengamati planet Neptunus pada 1612 namun ia tidak menyadarinya sebagai planet.
Pada buku catatannya, Neptunus tercatat hanya sebagai sebuah bintang yang
redup.
e)
Meramalkan Letak Neraka
Larangan
gereja justru membuat nama Galileo kian menjulang di mata para ilmuan. Pada
sebuah kesempatan, Universitas Florence yang amat tertarik dengan beberapa
penemuannya mengundang dia sebagai pembicara seminar ilmiah. Tapi, ini ternyata
hanya sebuah tantangan. Galileo diminta untuk menjelaskan nalar ilmiahnya atas
keberadaan neraka, sebagaimana yang digambarkan dalam novel Inferno karya
Dante.
Sejarah
mencatat seminar ini. Galileo di acara itu mencoba menjelaskan mengenai lokasi,
ukuran, dan susunan neraka, serta kemungkinan kecocokan sebagaimana yang
digambarkan Dante. Tapi, bagaimana selengkapnya “analisa” Galileo tentang
lokasi dan struktur neraka, sampai kini tak ditemukan datanya. Kemungkinan,
dihancurkan pihak gereja.